Minggu, 08 Mei 2011

Pandangan orientalis terhadap turunnya al-Qur’an



Mengenai pandangan orientalis tentang turunnya al-Qur’an sebenarnya adanya pandangan yang berbeda dengan kaum muslimin dalan mengartikan itu. Setiap pendapat mereka memiliki argumentasi sendiri-sendiri. Dengan menggunakan biblical critism sebagai framework untuk mengkaji al-Qur’an, maka para sarjana Barat menggugat mushaf usmani yang selama ini diyakini kebenarannya oleh kaum muslimin.[1] Dan diantara pendangan-pandangannya, yaitu:
Ø  Richard Bell, seorang orientalis abad XX, dengan memerhatikan QS. Al-Muzammil (73): 1-8, mengatakan bahwa Nabi saw bersusah payah menempatkan ayat al-Qur’an sesuai urutan turunnya wahyu, memilih waktu malam sebagai yang paling kuat dalam kesan dan paling tepat dalam ajaran, yaitu waktu munculnya pikiran paling jelas dan kata-kata yang tepat. Bahkan Bell memahami QS. al-Qiyamat (29): 16-19, yang terjemahannya adalah:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya (16) Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di  dadamu) dan (membuat pandai) membacanya.(17) Apabila telah kami selasai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.(18) Kemudian sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.(19)"
Sebagai upaya Nabi saw sedang mati-matian mengarang dengan mencari kata-kata yang bisa mengalir lancar dan bersajak untuk mengungkapkan maknanya, mengulang frase dengan bersuara kepada diri sendiri, mencoba memaksa kelanjutannya sebelum keseluruhannya menjadi jelas.
Pandangan Bell ini telah dengan sengaja mengaburkan kenyataan bahwa al-Qur’an, sekalipun disampaikan melalui lisan Nabi saw, betul-betul merupakan wahyu dari Allah swt. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat bahwa al-Qur’an tidak hanya memuat hal yang sesuai dengan kehendak Nabi saw melainkan juga menegurnya, seperti QS. ‘Abasa (80): 1-12; QS. ‘Ali imran (3): 128; QS. al-Anfal (8): 67-69. Lebih dari itu al-Qur’an tidak jarang datang secara tiba-tiba, bahkan boleh jadi tidak terlintas dalam benak Nabi saw bahwa akan turun ayat.[2]

Ø  Tokoh orientalis semacam Jeffery, Wansbrough dan Puin, bertolak dari asumsi yaitu menganggap al-Qur’an sebagai dokumen tertulis atau teks, bukan sebagai hafalan yang dibaca atau recitatio. Dengan asumsinya mereka memerlakukan al-Qur’an sebagai karya tulis “the Qur’an as text”, mereka lantas mau menerapkan metode-metode fiologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap al-Qur’an sebagai karya sejarah (historical product), sekedfar rekaman situasi dan refleksi budaya Arab abad ke-7 dan 8 masehi. Mereka juga mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang ini tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti), dan karenanya perlu membuat edisi kritis (Critical edition), merestorasi teks al-Qur’an dan menerbitkan naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada. Bahwa mereka menganggap al-Qur’an sama dengan Bibel telah diakui sendiri oleh Karl-Heinz Ohlig, guru besar teologi di Universitas Saarburcken,  Jerman, “Bercermin dari sejarah kristten, dimana ajaran dan riwayat hidup Jesus dibentuk secara kerygmatik dan dibangun melalui tradisi (yang berkembang) hampir mustahil untuk diketahui, maka (bercermin dari kasus ini boleh jadi melalui proses serupa.