Mengenai pandangan orientalis tentang turunnya al-Qur’an sebenarnya adanya pandangan yang berbeda dengan kaum muslimin dalan mengartikan itu. Setiap pendapat mereka memiliki argumentasi sendiri-sendiri. Dengan menggunakan biblical critism sebagai framework untuk mengkaji al-Qur’an, maka para sarjana Barat menggugat mushaf usmani yang selama ini diyakini kebenarannya oleh kaum muslimin.[1] Dan diantara pendangan-pandangannya, yaitu:
Ø Richard Bell, seorang orientalis abad XX, dengan memerhatikan QS. Al-Muzammil (73): 1-8, mengatakan bahwa Nabi saw bersusah payah menempatkan ayat al-Qur’an sesuai urutan turunnya wahyu, memilih waktu malam sebagai yang paling kuat dalam kesan dan paling tepat dalam ajaran, yaitu waktu munculnya pikiran paling jelas dan kata-kata yang tepat. Bahkan Bell memahami QS. al-Qiyamat (29): 16-19, yang terjemahannya adalah:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya (16) Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuat pandai) membacanya.(17) Apabila telah kami selasai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.(18) Kemudian sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.(19)"
Sebagai upaya Nabi saw sedang mati-matian mengarang dengan mencari kata-kata yang bisa mengalir lancar dan bersajak untuk mengungkapkan maknanya, mengulang frase dengan bersuara kepada diri sendiri, mencoba memaksa kelanjutannya sebelum keseluruhannya menjadi jelas.
Pandangan Bell ini telah dengan sengaja mengaburkan kenyataan bahwa al-Qur’an, sekalipun disampaikan melalui lisan Nabi saw, betul-betul merupakan wahyu dari Allah swt. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat bahwa al-Qur’an tidak hanya memuat hal yang sesuai dengan kehendak Nabi saw melainkan juga menegurnya, seperti QS. ‘Abasa (80): 1-12; QS. ‘Ali imran (3): 128; QS. al-Anfal (8): 67-69. Lebih dari itu al-Qur’an tidak jarang datang secara tiba-tiba, bahkan boleh jadi tidak terlintas dalam benak Nabi saw bahwa akan turun ayat.[2]
Ø Tokoh orientalis semacam Jeffery, Wansbrough dan Puin, bertolak dari asumsi yaitu menganggap al-Qur’an sebagai dokumen tertulis atau teks, bukan sebagai hafalan yang dibaca atau recitatio. Dengan asumsinya mereka memerlakukan al-Qur’an sebagai karya tulis “the Qur’an as text”, mereka lantas mau menerapkan metode-metode fiologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap al-Qur’an sebagai karya sejarah (historical product), sekedfar rekaman situasi dan refleksi budaya Arab abad ke-7 dan 8 masehi. Mereka juga mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang ini tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti), dan karenanya perlu membuat edisi kritis (Critical edition), merestorasi teks al-Qur’an dan menerbitkan naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada. Bahwa mereka menganggap al-Qur’an sama dengan Bibel telah diakui sendiri oleh Karl-Heinz Ohlig, guru besar teologi di Universitas Saarburcken, Jerman, “Bercermin dari sejarah kristten, dimana ajaran dan riwayat hidup Jesus dibentuk secara kerygmatik dan dibangun melalui tradisi (yang berkembang) hampir mustahil untuk diketahui, maka (bercermin dari kasus ini boleh jadi melalui proses serupa.
Ø Para orientalis ingin mengubah-ubah al-Qur’an dan biasanya akan memulai dengan mempertanyakan fakta sejarah dan seraya menolak hasilnya, menganggap bahwa sejarah kodifikasi tersebut hanyalah kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 Masehi. Jeffery, misalnya, dengan sesuka hatinya mengatakan sesuatu sehingga tampak jelas bagaimana Jeffery tidak mengerti, berpura-pua tidak tahu dan sengaja lupa bahwa al-Qur’an tidak sama sejarahnya dengan Bible, bahwa al-Qur’an tidak lahir dari manuskrip, akan tetapi sebaliknya: manuskrip lahir dari al-Qur’an.[3]
Ø Menurut Jeffry tidak ada yang istimewa mengenai sejarah al-Qur’an. Sejarahnya sama saja dengan kitab-kitab suci yang lain. Al-Qur’an menjadi teks standart dan dianggap suci, padahal ia sebenarnya telah melalui beberapa tahap. Dalam pandangan Jeffery, sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan masyarakat (the action of community). Tindakan masing-masing agama. Yang menjadikan sebuah kitab suci itu. Jeffery mengatakan: “Komunitaslah yang menentukan masalah ini suci dan tidak. Komunitaslah yang memilih dan mengumpulkan bersama tulisan-tulisan tersebut untuk kegunaannya sendiri, yang mana komunitas merasa bahwa ia mendengar suara otoritas keagamaan yang otentik yang sah untuk pengalaman keagamaan yang khusus.
Menurut Jeffery, fenomena seperti umum terjadi didalam komunitas lintas agama. Komunitas kristen (cristian community) misalnya, memilih 4 dari sekian banyak Gospel, menghimpun sebuah korpus yang terdiri dari 21 surat (Epistles), perbuatan-perbuatan (Acts) dan Apokalips (Apocalyps) yang kesemua itu membentuk perjanjian baru (New Testament). Sama halnya dengan komunitas islam. Penduduk Kuffah misalnya, menganggap mushaf Abdullah bin Mas’ud sebagai al-Qur’an edisi mereka (their Recesion of the Quran). Penduduk Basrah menganggap Mushaf Abu Musa, penduduk Damaskus dengan Mushaf Miqdad Ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan Mushaf Ubayy.
Dalam pandangan Jeffery, sikap-sikap awal kaum muslimin tersebut seperti itu paralel sekali dengan sikap masing-masing pusat-pusat utama gereja terdahulu yang menetapakan sendiri beragam variasi teks untuk perjanjian baru. Teks Perjanjian Baru memiliki beberapa versi seperti teks Alexandria, teks Netral, teks Barat, dan Teks kaisaria. Masing-masing teks memiliki varian bacaan tersendiri.[4]
Ø Dikarenakan adanya hubungan emosi-politis menjadikan semua kajian orientalisme klasik kemudian hanya merupakan upaya untuk mengaburkan atau bahkan menghancurkan informasi tentang al-Qur’an. Antonius Walaeus, pendiri dan rektor Semanirium Indicum (1622-1632), misalnya, menyatakan dalam karyanya Opera Omnia bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang disampaikan dan penuh dengan pemikiran yang saling bertentangan.
Didalam suatu ungkapan, katanya lebih lanjut, Tuhan digambarkan sebagai wujud fisik, sedang duduk diatas kursi yang dibawa dari satu tempat ke tempat lain oleh empat orang malaikat yang kuat. Hukum al-Qur’an, katanya lagi, tidak hanya bertentangan dengan hukum moral dan hukum ketuhanan mengenai banyak masalah, tetapi juga bertentangan dengan petunjuk-petunjuk nyata Kristus. Khususnya, orang akan mencela praktik istri lebih dari satu dan gundik-gundik, kebiasaan membunuh saudara kandung sendiri dikalangan kerajaan, berceari tanpa alasan apapun, dan berbagai kejahatan yang secara seksual menentang kodrat alam yang masih tanpa hukum.[5]
Kajian-Kajian al-Qur’an lainnya. Kajian-kajian al-Qur’an paling awal di Barat, yang bermula pada abad pertengahan dengan serangkaian penerjemahan yang terdapat dalam Clunias Corpus, pada faktanya, lebih menunjukkan karakter apolegetik ketimbang karakter ilmiyah. Suasana peperangan Salib-dimana umat Kristiani Barat berhadap-hadapan dengan umat islam sebagai musuh bebuyutan-yang berlangsung selama beberapa abad tampaknya yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan semacam itu. Dalam suasana semacam ini, gagasan fantastik dan imajiner tentang al-Qur’an, ataupun tentang Muhammad dan Islam, ditempa dalam semangat aopolegetik yang tinggi untuk menunjukkan bahwa sekalipun kaum muslimin secara politik lebih superior, tetap[i secar religius mereka memliki keyakinan penuh bidah yang sangat inferior.
Seperti ditunjukkan Norman Daniel dan R.W. Shouthern, para penulis Kristen abad pertengahan pada umumnya telah melakukan tantangan yang bersifat apolegetik terhadap al-Qur’an berpijak pada sejumlah alasan yang didasarkan pada nalar dan kitab suci Kristen. Secara konstan mereka menegaskan ketidakbenaran al-Qur’an, atau bahkan menuduh Muhammad sebagai nabi palsu. Tetapi, kebanyakan dari arguman yang diajukan didasarkan pada premis-premis yang tidak dapat diterima oleh kaum muslimin. Gagasan Barat abad pertengahan tentang al-Qur’an ini bisa diilustrasikan dengan berbagai pandangan Ricoldo da Monte Croce (w.1320), seperti terekspredsikan dalam Contra legem Saracenorum (penolakan terhadap Hukum Sarasens), yang dapat diringkas sebagai berikut:
i. Al-Qur’an tidak lebih dari ramuan bidah-bidah lama yang ditolak sebelumnya oleh otoritas gereja.
ii. Al-Qur’an tidak dapat dipandang sebagai “hukum ilahi” karena tidak dinubuwatkan baik oleh Perjanjian Lama maupun Baru. Lebih jauh, dari al-Qur’an dalam beberapa hal secara eksplisit merujuk kepada Bibel. Sedangkan doktrin tentang pemalsuan Kitab Suci (tahrif) oleh kaum Kristiani dan Yahudi tidak dapat diterima.
iii. Gaya al-Qur’an tidak selaras dengan suatu “Kitab Suci”.
iv. Tak satupun kandungan al-Qur’an yang berasal dari Tuhan, seperti terlihat dalam berbagai kisah fantastik yang tidak memiliki basis dalam tradisi biblikal. Lebih jauh, beberapa konsepsi etik al-Qur’an bertentangan dengan pijakan keyakinan filosofis.
v. Al-Qur’an penuh dengan kontradiksi internal, atau betul-betul kacau balau (disorder)
vi. Realibitas al-Qur’an tidak dibuktikan dengan mukjizat. Pandangan populer kaum muslimin bahwa Nabi telah mendatangkan mukjizat bertentangan dengan kesaksian al-Qur’an sendiri.
vii. Al-Qur’an menentang nalar (reason). Hal ini terbukti cara hidup Muhammad yang tidak bermoral, serta oleh al-Qur’an sendiri yang berisi keyakinan-keyakinan yang hina dan nonsen mengenai hal-hal yang bersifat ilahiyah.
viii. Al-Qur’an mengajarkan kekerasan untuk menyebarkan Islam dan mengakui ketidakadilan, seperti terlihat dalam surat 60.
ix. Teks al-Qur’an, sebagaimana terlihat dalam sejarahnya, tidak menunjukkan sebagai kepastian.
x. Kisah mikraj Muhammad hanya merupakan fiksi dan rekayasa.[6]
B. Kelemahan pandangan orientalis terhadap turunnya al-Qur’an.
Secara umum, ada bebarapa kejanggalan untuk tidak menyebutkan kesalahan pada beberapa pendekatan yang dilakukan orientalis dalam melakukan pengkajian terhadap al-Qur’an yang darinya hasil kajiannya menyandang beberapa kelemahan yang dilakukan oleh orientalis dalam mengkaji islam secara umum, yaitu:
v Orientalis melakukan pengkajian melalui berbagai pikiran tertulis ulama-ulama besar dan cenderung mengabaikan ungkapan dan pengalaman hidup yang tak tertulis, berbagai tulisan ulama dianggap tidak representatif dan berbagai sistem semiotis, non linguistik, seperti mitos, ritus, musik, susunan ruang-waktu, urbanisme, arsitektur, lukisan, dekor, perabot, pakaian, susunan kekerabatan dan susunan sosial.
v Orientalis menggunakan pendekatan hisotoris berbasis Materialisme Sejarah yang pada prinsipnya menegaskan adanya kekuatan lain di luar diri manusia. Oleh sebab itu, sejarah dalam pandangan ini hanya dianggap sebagai suatu proses penciptaan dan penciptaan ulang dari kebutuhan manusia yang terus menerus.
Sekalipun kajian-kajian terhadap al-Qur’an yang dilakukan orientalis mempunyai kelemahan tersebut, dari dasar-dasar kritisisme dan analisis filologis serta simiotis yang telah dilakukan para orientalis, telah membuka peluang yang sangat luas bagi pengembangan keilmuan al-Qur’an. Setidaknya apa yang telah dilakukan para orientalis telah membangkitkan kembali khazanah pemikiran Islam yang sudah mati dan tidak memiliki gairah hidup.[7]
Al-Qur’an merupakan target utama serangan misionaris dan orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah saw. Mereka menanyakan status kenabian beliau, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan cerita fiktif belaka. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan lain-lain. Karena itu mereka sibuk merekonstruksi biografi Nabi Muhammad saw. Khususnya dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin umat islam ingin melakukan hal yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi Isa. Bagi mereka, Musa atau ‘Moses’ cuma tokoh fiktif belaka, invented mythical figure dalam dongeng Bible, manakala tokoh ‘Jesus’ masih lagi diliputi misteri dan cerita-cerita ‘isapan jempol’. Dalam logika mereka, jika ada upaya pencarian ‘Jesus Historis’ mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah hidup Nabi Muhammad saw.?? Demikian seru mereka. Muncullah Arthur Jeffery yang menulis The Quest of the Historical Muhammad, dimana ia tidak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad sebagai “kepala perampok” (robber chief). Usaha Jeffery tersebut diteruskan F.E. Petters dan belum lama ini dilanjutkan oleh seseorang yang menyebut dirinya “Ibn Warraq”. Missionaris-orientalis ini tidak menyadari bahwa sesungguhnya tulisan mereka hanyalah menunjukkan kebusukan hati dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji.
Sikap semacam ini juga tampak dalam kajian orientalis terhadap hadits. Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi Aphokrypha dalam sejarah Kristen atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi. Dalam Khayalan mereka, teori evolusi juga berlaku untuk sejarah hadits. Mereka berspekulasi apa yang dikenal sebagai hadits muncul beberapa ratus tahun sesudan Nabi Muhammad saw. wafat, bahwa hadits mengalami beberapa tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka anggap totkoh fiktif. Penyandaran suatu hadits secara sistematik (isnad), menurut mereka baru muncul pada zaman daulat Abbasiyah. Karena itu, mereka beranggapan dari sekian banyak hadits hanya sedikit saja yang shahih, manakal sisanya kebanyakan palsu. Demikian pendapat Goldziher, Margholiouth, Schacht, Cook, dan para pengikutnya. Para orientalis-missionaris tersebut menghendaki agar umat Islam membuang tuntutan Rasullah saw. sebagimana orang Kristen meragukan dan akhirnya mencampakkan ajaran Jesus.[8]
C. Pendapat kaum Muslimin terhadap turunnya al-Qur’an.
Menurut keyakinan kaum Muslimin, Al-Qur’an telah disampaikan secara oral oleh Nabi kepada pengikut-pengikut pertamanya, yang ditransmisikan juga secara oral dari generasi ke generasi. Sebagian kaum Muslimin bahkan meyakini bahwa verbum dei telah disampaikan secara oral oleh Jibril-yang menjelma secara visual-kepada Nabi. Tetapi, keyakinan terakhir ini mungkin sulit dijelaskan, karena al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa ia diwahyukan ke dalam hati Nabi (26:193; 2:97; 42:4). Penyampaian oral wahyu al-Qur’an disini barangkali mesti ditafsirkan bahwa Nabi memang secara aktual “mendengar” kata-kata wahyu, tetapi dalam pengertian mental, bukan akuistik, karena agen wahyu (Jibril) dan “suara” wahyu itu bersifat internal baginya.[9]
Al-Qur’an diturunkan sebagaimana cara Jibril membawa al-Qur’an ditegaskan dalam QS. al-Qiyamat: 16-19. Menurut Ibnu Katsir ayat tersebut turun disebabkan ketika Nabi saw menerima wahyu, beliau langsung menggerakkan bibirnya untuk menghafal, kemudian turunlah ayat-ayat ini agar Nabi saw tidak membaca kecuali Jibril telah selesai membacakannya. Hal ini menegaskan bahwa Jibril mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an langsung kepada Nabi saw ditegaskan QS. al-Syu’ara’ (26): 192-194. Yang artinya:
“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar oleh Tuhan semseata alam. (192) Dia dibawa turun oleh Ruhul Amin (Jibril) (193) Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan.(194)”
Dalam frase yang berbunyi “ke dalam hatimu” dalam ayat 194. Ayat tersebut dengan jelas menerangkan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan cara langsung dimasukkan kedalam hati Nabi saw, bukan dibacakan Jibril sebagaimana layaknya seorang guru membacakan atau mendektekan bacaan kepada muridnya, sebab seandainya Jibril seandainya Jibril membacakan sebagaimana guru tadi, mustahil tidak ada seorang sahabat pun yang mendengar secara langsung bacaan dan suara Jibril itu. Sebaliknya, para sahabat mengetahui bahwa Nabi saw menerima wahyu bukan mendengar langsung ketika Jibril membacakan ayat al-Qur’an, melainkan diberi tahu oleh Nabi saw.
Untuk menggambarkan bagaimana proses turunnya al-Qur’an, dengan memerhatikan hadits yang diriwayatkan Abu Kamil al-Jahdariy yang mendapatkan hadits dari Abu ‘Awanah dari al-‘Arnasy dari Abi Sufyan dari Jibril: ”Sesungguhnya budak perempuan ‘Abdillah bin Ubayy bin Sulal yang bernama Musaykah atau Umaymah telah dipaksa (oleh ‘Abdillah) untuk melakukan perzinaan, maka perempuan tersebut mengadu kepada Nabi saw dan turunlah QS. an-Nuur (24): 33. Artinya:
“...... Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran....”
Hadits ini menggambarkan bagaimana proses turunnya ayat sesuai dengan suasana yang terjadi pada Nabi saw yang disampaikan Jibril ke dalam hatinya dan dilafalkan Nabi kepada wanita tersebut. Oleh karena itu proses penyampaian al-Qur’an seperti itu, sebagian orang Arab pada masa Nabi saw menyangka bahwa itu dibuat-buat oleh Nabi saw dan menganggap bahwa beliau telah berbohong dengan mengaku telah menerima wahyu dari Allah swt.[10]
Al-Qur’an yang sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan, antara lain:
1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.
2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antarsuku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman dan resiko, kesatuan kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik dan ekonomi dan kesemuanya berada dibawah satu keesaan, yaitu keesaan Allah swt.
4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hkimat kebijaksanaan.
5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas manusia, dalm bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.
6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupan masyrakat manusia.
7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsfah kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathah yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
8. Untuk menekankan peran ilmu dan teknologi, guna menciptakn suatu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan panduan dan panduan nur ilahi.
Demikian sebagian tujuan kehadiran al-Qur’an, tujuan terpadu dan menyeluruh, bukan sekedar mewajibkan pendekatan religius yang bersifat ritual atau mistik yang dapat menimbulkan formalitas dan kegersangan. Al-Qur’an adalah petunjuk Nya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagi problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.
Itulah al-Qur’an dengan gaya bahasanya yang menyentuh akal dan rasa, dapat menggugah kita menerima dan memberi kasih dan keharuan cinta sehingga dapat mengarahkan kita untuk memberi sebagian yang kita miliki kepentingan dan kemashlahatan umat manusia. Itulah al-Qur’an yang ajarannya merupakan kakayaan bangsa kita, dan yang telah tumbuh subur dalm negara kita.[11]
[1] Adnin Armas, M.A, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an : Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani press, 2005) 81.
[2] M.F. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 5-6.
[3] Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008), 10-12.
[4] Adnin Armas, M.A, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an : Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani press, 2005), 81-83.
[5] M.F. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 85.
[6] Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 384-385.
[7] M.F. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 89.
[8] Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008), 7-9.
[9] Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 340.
[10] M.F. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 3-5.
[11] Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2001), 12-13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar